Yang melatar belakangi munculnya ilmu kalam ini, tidak lepas dari sejarah yang panjang. Yang mana pada waktu itu terjadi pembunuhan terhadap Khalifah ‘Usman bin Affan. Sebagai mana yang dipaparkan oleh Harun Nasution, “kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Usman bin Affwan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase)”.(DR. Abdul Rozak & DR. Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: 27-28). Dalam tahkim ini ada perpecahan di tubuh tentara Ali bin Abi Thalib, ada yang mnerimanya dan ada pula yang menolaknya. Dan yang menolak tahkim ini berpendapat bahwa, persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Menurut mereka putusan hanya dating dari Allah dengan kembali pada hukum-hukun yang ada dalam Al-Quran, tidak ada hukum selain dari hukum Allah. Dan menjadi semboyan meraka. “Akibatnya dari peristiwa tahkim ini, selain timbulnya perpecahan dalam tubuh umat Islam kedalam golongan-golongan, juga menimbulkan aliran-aliran dalam teologi dalam islam” (Abuddin Nata, , Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawwuf: hlm:17) yaitu:
a). Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
b). Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
c). Aliran Mu’tazilah , yang tidak menerima pendapat kedua diatas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir , tetapi bukan mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahjasa arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain(posisi diantara dua posisi). (DR. Abdul Rozak & DR. Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: 28-29).
2. Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Ada tiga penyebab utama yang menimbulkan adanya kerangka berfikir dalam ilmu kalam yaitu: persoalan keyakinan, persoalan syariah, dan persoalan politik.
Berawal dari tiga masalah diatas, perbedaan pendapat dalam teologi berkait erat dengan cara atau metode berpikir aliran-aliran ilmu kalam dalam menjelaskan objek kajian. Di dalam buku (DR. Abdul Rozak & DR. Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: 32). Membagi metode atau kerangka berpikir secara garis besar ada dua macam, dan prinsip-prinsipnya, yaitu:
1.Kerangka berpikir rasional.
a)Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas desebut dalam Al-Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang Qath’I (teks yang tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfianya).
b)Memberikebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
2.Kerangka berpikir tradisional.
a)Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).
b)Tidak member kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
c)Memberikan daya yang kecil kepada akal.
3. Perbandingan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf.
vTitik Persamaan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf.
Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai obyek kemiripan, yaitu:
üObyek ilmu kalam ketuhanan dan yang berkaitan dengan-Nya.
üObyek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada.
üSementara itu obyek kajian tasawwuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya.
Jadi dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Argumentasi filsafat sebagaimana ilmu kalam dibangun diatas dasar logika. Oleh karena itu , hasil kajiannya bersifat spekulatif(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimen). Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawwuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran yang rasional. (DR. Abdul Rozak & DR. Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, hlm:39-40).
vTitik Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat, danTasawuf.
Perbedaan diantara ketiga ilmu itu tersebut terletak pada aspek metodologinya;
ØIlmu kalam , sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai ketuhananya . Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
ØSementara filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelana) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika.
ØAdapun ilmu tasawwuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawwuf bersifat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang.
Dilihat dari aspek aksiologi(manfaatnya),
·Ilmu kalam diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional.
·Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian langsung.
·Adapun tasawwuf lebih peran sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh yang ingin dicarinya. (DR. Abdul Rozak & DR. Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: 39-40).
4. Perbedaan Pokok Aliran Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
1. Khawarij:
a) Doktrin Politik.Contohnya:
§Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
§Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab.
§Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh.dll
b) Doktrin teologis social. Contohnya:
Amar ma’ruf nahi munkar
Quran adalah makhluk
Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
2. Murji’ah:
a) Bidang Politik,
oMurji’ah diimplementasikandengan sikap politik netral atau non-blog, dan merka selalu diam dalam persoalan politik.
b) Bidang teologis,
oMemberi harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah, dan menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Mu’tazilah:
a) Bidang politik,
üMenganut politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik.
b) Bidang teologis,
üMereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Menurut Mu’tazilah bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawwuf, 2001, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Rozak, Abdul & Anwar, Rosihan,2009, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia
Mempercayai dan meyakini hakikat iman kepada qadha dan qadar
2. Memahami hikmah
beriman kepada qadha
dan qadar
2.1 Membiasakan melati diri untuk
banyak bersyukur dan bersabar
2.2 Membiasakan menjauhkan diri
dari sifat sombong dan putus asa
2.3 Mampu memupuk sifat optimis
dan giat bekerja
2.4 Mampu menenangkan jiwa
Siswa mampu mempraktekan dalam kehidupannya sehari-hari
3. Membiasakan berakhlak
terpuji terhadap Negar
dan bangsa
3.1 Menimbulkan rasa cinta tanah
air
3.2 Memahami kepahlawanan
3.3 Menimbulkan rasa ingin belajar
sepanjang masa
Mampu menerapkan akhlak terpuji dalan berbangsa dan Negara
HAKIKAT BERIMAN KEPADA QADHA’ DAN QADAR
1. Pengertian
Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya[1]. Firman Allah:
Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.(QS .Al-Furqan ayat 2).
Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut ini dikemkakan contoh. Saat ini Arqom melanjutkan kulianya di UMM. Sebelum Arqom lahir, bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan, bahwa seorang anak bernama Arqom akan melanjutkan kulianya di UMM. Ketetapan Allah di Zaman Azali disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut qadar atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha.
2. Hubungan antara Qadha dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut:
Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu
Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
3.Kewajiban beriman kepada dan qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim)
Lelaki itu adalah Malaekat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah yang dibenarkan oleh Malaekat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satunya dari rukun iman itu adalah iman kepada qadha dan qadar[2]. Dengan demikian , bahwa mempercayai qadha dan qadar itu merupakan hati kita. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah atas kehendak Allah.
Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah atas diri kita. Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: ” Siapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
4.Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa AllahSWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut yang artinya
”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupny) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa kehadapan Khalifah Umar. ” Mengapa engkau mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah sudah mentakdirkan saya menjadi pencuri.”
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!.” Orang-orang yang ada disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu?”Khalifah Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.[3]
Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat kudanya. Nabi menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan segala sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu kita harus berikhtiar. Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun. Jika ingin kaya, bekerjalah dengan rajin setelah itu berdo’a. Dengan berdo’a kita kembalikan segala urusan kepada Allah kita kepada Allah SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita dapat menerimanya dengan ridha dan ikhlas.
Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah berfirman
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S Ar-Ra’d ayat 11)
2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
B.Hikmah Beriman kepada Qada dan qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
ü.Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”(QS. An-Nahl ayat 53).
ü.Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.Firman Allah SWT:
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)
ü.Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu. Allah berfirman:
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
ü.Menenangkan jiwa
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
BERAKHLAK TERPUJI TERHADAP NEGARA DAN BANGSA
A.Cinta Tanah Air
Ketika Rasulullah saw hendang berangkat berhijrah menuju madina dari mekkah beliau berkata “Alangkah besarnya cintaku pada kota mekkah, tempat kelahiran dan tumpah darahku; andaikan pemduduk tidak mengusirku, maka pasti aku akan tetap berada di kota Mekkah.
Pernyataan di atas merupakan sebuah perwujudan dari rasa cinta beliau yang sangat mendalam lepada kota tempat kelahirannya atau tana airnya. Hijrahnya beliau ke kota Madinah bersama para sahabatnya, bukan karena keinginannya untuk sengaja meninggalkan tanah airnya, akan tetapi perinta dari Allah Swt sebagai sebagian dari strategi dakwah dan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan ajaran-Nya, sthingga terbentuk masyarakat Madinah yang penuh dengan kedamaian, ketengan, persamaan, kesejahteraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dan memang telah tercatat dengan tinta emas dalam sejarah, bahwa Madina adalah tempat persemian yang subur untuk menanamkan nilai-nilai kebajikan, menumbuhkan dan melahirkan para kader dakwah yang handal. Para kader yang memiliki loyalitas sangat tinggi kepada Allah dan rasu-Nya.
Ibrahim sebagai Nabi dan kekasih Allah, dalam ayat tersebut membuktikan bentuk loyalitas dan kecintaanya pada negeri (Makkah) yang pernah beliau tempati, dengan do'anya untuk menjadikan negeri tersebut sebagai negeri yang aman sentosa, tidak kekurangan bahan makanan dan buah-buahan, meskipun banyak dari buah-buahan tersebut pohonnya tidak tumbuh di sana. Secara historis kita tahu, Mekkah bukanlah tempat kelahiran Nabi Ibrahim, namun beliau mampu menunjukkan rasa cinta pada negeri yang pernah beliau tempati itu. Cukuplah kiranya bagi seorang mukmin, dengan melihat kasus Nabi Ibrahim itu menjadikannya sebagai alasan untuk menumbuhkan rasa patriotik dan memotivasi mereka agar tetap mencintai tanah airnya, menjadikannya sebagai negeri yang aman dan damai, bukan justru merusak dan menghancurkannya dengan dalih Hadis tentang mencintai tanah air itu palsu, atau dengan alasan Indonesia bukan negara Islam.
Sebagai seorang muslim yang sekaligus warga negara Republik Indonesia, ia dituntut menjadikan Indonesia sebagai negeri yang aman dan damai, karena bagi muslim Indonesia (al-Muslim al-Indunisiy); Republik Indonesia adalah wilayah amal dan dakwah. Dan amal dan dakwah itu tidak mungkin terjadi tanpa adanya kedamaian di dalamnya. Rasanya, sungguh disayangkan apabila ummat Islam Indonesia justru menjadikan Indonesia sebagai wilayah al-Harb (kawasan perang), di mana ia justru membenci dan memusuhi tanah airnya sendiri, sampai-sampai memiliki bendera merah putih saja ia tidak mau, apa lagi mau mengibarkannya.
Sebagai pengikut dan umat Rasulullah, seluruh kaum muslimin di negri manapun mereka berada, termasuk di Indonesia sendiri pasti akan mencintai tanah airnya sendiri. Bagi kaum muslimin, kecintaan pada tanah air adalah bagian dari aqidah dan keyakinan, bukan semata-mata karena unsure kebangsaan atau nasionalisme. Sejarah telah menunjukan, bahwa yang paling gagah berani merebut kemerdekaan Rebublik Indonesia dari tangan penjajah adalah para ulama, para kiai, para santri, dan kaum muslimin secara keseluruhan. Bagi mereka mengusir penjajahan dan merebut kemerdekaan adalah bagian dari jihad yang harus dilakukan dengan kesungguhan. Mati dalam mengusir penjajah adalah bagian dari syahid yang sangat tinggi nilainya dalam pandangan Allah SWT.
B.Kepahlawanan
Untuk membangun negarah dibutuhkan jiwa patriot atau kepahlawanan, siap untuk berkorban membela dan mempertahankan serta membangun Negara tanpa diminta, bukan merusak atau menggrogoti Negara sebagai mana layaknya penghinaan bangsa. Jiwa patriot harus ditanamkan sejak isia dini dimanapun dan kapanpun serta terus menerus disosialisasikan dalam setiap aspek kehidupan dalam berbangsa dan Negara.
Dewasa ini di dalam reformasi jiwa patriot dan kepahlawanan bangsa Indonesia memudar, banyak indikasi yang mengarah kepada hal tersebut, seperti kasus korupsi, suap, dan kejahatan kemanusiaan, mementingkan dri sendiri, kelompok atau partai dibandingkan kepentingan umum dan Negara, banyak pemimpin Negara atau partai tidak member contoh yang baik kepada orang yang dipimpinnya dan sebagainya.
Bagaimana menumbuhkan jiwa patriot, diantaranya yang pertama adalah:
1.menumbuhkan rasa cinta warga terhadap negaranya.
2.Memahami dengan benar tujuan, cita-cita dan ideology Negara serta filosofi lagu kebangsaan Indonesia raya, sebagai pijakan kuat menyongsong masa depan ditenga derasnya arus globalisasi.
3.Menumbuhkan rasa cinta dan bangga akan produk sendiri yang tidak lalah dari produk luar yaitu dengan cara membelinya bahkan bila perku mempromosikannya dalam setiap kesempatan. Dll
Sebagaimana layaknya sebuah sikap dan pemahaman, patriotisme atau semangat kebangsaan yang telah jalas-jelas menimbulkan pengkotak-kotakan melalui eksistensi berbangsa, maka menjadi sangat wajar jika kemunculannya banyak mengundang kontroversi dan reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Kontroversi tersebut berpusat di sekitar kontradiksi pokok, antara patriotisme sebagai sebuah pemahaman yang berisi prinsip-prinsip yang terikat pada ruang dan waktu serta terkait dengan kebutuhan sekelompok manusia tertentu. Sedangkan Islam sebagai sebuah risalah yang abadi dan universal, sama sekali tidak membuat perbedaan apapun di antara pengikutnya-pengikutnya kecuali atas dasar kriteria ketakwaan.
C. Belajar Sepanjang Hayat
Pada dasarnya ilmu adalah suatu hakikat kebenaran dari Allah swt tentang segala makhluk dan ciptaan-Nya di jagat raya ini. Ilmu merupakan hak dan milik Allah swt yang diamanahkan-Nya, dikurniakan kepada manusia yang diberi akal untuk berfikir dan mencarinya.
Apabila kita memperhatikan isi Alquran dan Al Hadist, maka terdapatlah beberapa suruhan yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu, agar mereka tergolong menjadi umat yang cerdas, jauh dari kabut kejahilan dan kebodohan.
Menuntut ilmu artinya berusaha menghasilkan segala ilmu, baik dengan jalan bertanya, melihat atau mendengar.
Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam Hadist Nabi Muhammad SAW :
"Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan" (HR. Ibn Abdulbari)
Dari hadis ini kita memperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui segala kemashlahatan dan jalan kemanfaatan, menyelami hakikat alam, dapat meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang lalu, baik yang berhubungan dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup.
Nabi Muhammad bersabda
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya dan barangsiapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula. dan barangsiapa yang menginginkan keduanya wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan berguna untuk menuntun kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-tiap muslim jangan picik dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang di ridhai Allah SWT.
Demikian pula Islam mewajibkan kita menuntut ilmu akhirat yang menghasilkan natijah, yaitu ilmu yang diamalkan sesuai dengan perintah-perintah syara.
Hukum wajibnya perintah menuntut ilmu itu adlah wajib ain dan adakalanya wajib kifayah. Ilmu yang wajib ain dipelajari oleh mukalaf yaitu yang perlu diketahui untuk meluruskan aqidah yang wajib dipercayai oleh seluruh muslimin dan yang perlu diketahui untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang difardukan atasnya, seperti salat, puasa, zakat dan haji. Disamping itu perlu dipelajari ilmu akhlak untuk mengetahui adab sopan santun yang perlu kita laksanakan dan tingkah laku yang harus kita tinggalkan. Disamping itu harus pula mengetahui kepandaian dan keterampilan yang menjadi tonggak hidupnya.
Adapun pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan sehari-hari maka diwajibkan mempelajarinya kalau dikehendaki akan melaksanakannya, seperti seseorang yang hendak memasuki gapura pernikahan, seperti syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta segala yang diharamkan dan dihalalkan dalam menggauli istrinya.